ASN Pemprov Lampung Aniaya Anak, Tak Ditahan Sejak 2023! Publik Geram: Hukum Tumpul ke Atas?

TRANSSEWU.COM – Persidangan kasus penganiayaan terhadap anak di bawah umur dengan terdakwa seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, M. Hersa A. Wijaya, mulai digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang pada Selasa (11/3/2025). Yang menjadi sorotan publik, terdakwa ternyata selama ini tidak ditahan meski kasusnya sudah bergulir sejak 2023.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), Budi Rizky Husin, SH, MH, CPM, CLA, menjelaskan bahwa dalam Pasal 32 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), pelaku yang masih berusia anak-anak dapat tidak ditahan. Namun, jika pelaku merupakan orang dewasa, maka keputusan untuk tidak menahan harus mengacu pada pertimbangan normatif dalam KUHAP.
“Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana penganiayaan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bisa saja tidak diikuti dengan penahanan. Secara subjektif, penahanan hanya dilakukan jika terdapat kekhawatiran bahwa pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Jika pelaku bersikap kooperatif, memiliki alamat tetap, dan tidak berpotensi mengulangi perbuatannya, maka aparat penegak hukum dapat memutuskan untuk tidak menahannya,” jelas Budi, Rabu (12/3/2025).
Namun, Budi menekankan bahwa jika pelaku tidak memenuhi syarat objektif maupun subjektif tetapi tetap tidak ditahan, maka hal ini kembali kepada kebijakan aparat penegak hukum. Mereka harus bertindak secara profesional tanpa membeda-bedakan perlakuan terhadap pelaku tindak pidana dan tetap mengedepankan asas equality before the law (persamaan di hadapan hukum). (Dikutip kbninewstex.com)

Sementara itu, Direktur Lembaga Urusan Perlindungan Anak (LUPA) Lampung, Toni, menilai bahwa kasus ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum terhadap kasus kekerasan anak. Ia mempertanyakan mengapa kasus yang terjadi pada 2023 baru disidangkan pada 2025, dan lebih mengherankan lagi, terdakwa tidak pernah ditahan.
“Ini bukti bahwa penegakan hukum terhadap kasus anak sangat lemah. Peristiwa terjadi tahun 2023, tapi baru disidangkan sekarang. Tidak ditahan pula selama ini. Ada apa? Apakah Undang-Undang Perlindungan Anak kalah dengan status pelaku yang punya jabatan, uang, dan kekuasaan? Bagaimana jika pelakunya dari kalangan ekonomi lemah? Pasti gercep (gerak cepat) ditahan,” tegas Toni.
Ia juga berharap kasus ini tidak membuat para orang tua kapok melaporkan kekerasan terhadap anak. Namun, ia pesimis bahwa kasus serupa akan berkurang karena lemahnya penegakan hukum. “Kalau hukum masih selektif begini, kekerasan terhadap anak sulit dicegah,” pungkasnya.
Editor : IFFAH.Yy, A. Md.Kom
TRANSSEWU.COM