Dir. LPHPA Lampung Toni Fisher Prihatin Maraknya Kekerasan Seksual terhadap Anak di Lampung, Desak Pemerintah Daerah untuk Serius dalam Perlindungan Anak

Foto : Dir. LPHPA Propinsi Lampung, Toni Fisher.
TRANSSEWU.COM – Lembaga Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (LPHPA) menyatakan keprihatinannya atas masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, terutama kekerasan seksual terhadap anak di Lampung. Ironisnya, kejadian ini masih terus terjadi meskipun saat ini kita berada dalam bulan penuh berkah dan hikmah, yaitu Bulan Ramadhan Perbuatan Asusila Dibawah Umur Kembali Terjadi Di Lampung Tengah (Newshttps://tribratanews-reslampungtengah.lampung.polri.go.id/detail-post/dalam-sehari-unit-ppa-sat-reskrim-polres-lampung-tengah-amankan-dua-tersangka-cabul).
LPHPA menegaskan bahwa isu ini seharusnya menjadi perhatian utama bagi seluruh pemerintah daerah. Ke depannya, harus ada langkah nyata agar angka kekerasan terhadap anak dapat berkurang, bahkan dihilangkan. Perlindungan anak harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan daerah, tidak hanya fokus pada infrastruktur semata. Jika infrastruktur dibangun dengan baik tetapi anak-anak tidak terlindungi, maka pemerintah daerah telah gagal dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang juga menjadi standar keberhasilan pembangunan oleh pemerintah pusat.
Namun, hingga saat ini, LPHPA belum melihat adanya komitmen nyata dari para kepala daerah di Lampung dalam perlindungan anak dan perempuan. Hal ini sangat disayangkan, mengingat pemenuhan hak anak dan perlindungan anak bukan hanya sekadar jargon atau bahan konsumsi politik, melainkan kewajiban yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti:
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang Pemerintahan Desa
- Undang-Undang Perlindungan Anak
- Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
- Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
- Undang-Undang Pornografi
- Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak
Dengan banyaknya regulasi tersebut, muncul pertanyaan: Apakah seluruh kepala daerah dan jajaran perangkatnya memahami kewajiban mereka dalam perlindungan anak? Hal ini juga perlu dievaluasi oleh pemerintah pusat, termasuk oleh Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Bahkan, dalam pertemuan kepala daerah di Akmil beberapa waktu lalu, seharusnya mereka dibekali dengan pengetahuan terkait perlindungan anak dan perempuan.
LPHPA menegaskan bahwa perlindungan anak tidak boleh hanya bersifat parsial, dekoratif, atau manipulatif. Implementasinya harus nyata dan terus dievaluasi. Sayangnya, situasi anggaran yang terkena kebijakan efisiensi saat ini semakin memperburuk keadaan. Sejak pandemi COVID-19, anggaran perlindungan anak mengalami refocusing dan rasionalisasi, yang berakibat pada hilangnya dana untuk sosialisasi dan pendampingan bagi korban kekerasan anak. Bahkan, Kementerian PPPA sendiri sudah tidak memiliki anggaran untuk sosialisasi dan pendampingan. Jika anggaran untuk pencegahan dan pelayanan lanjutan bagi korban sebagaimana diatur dalam PP 78 Tahun 2021 pun tidak ada, bagaimana nasib anak-anak Indonesia ke depannya?
Selain itu, Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat yang selama ini membantu daerah dalam sosialisasi dan penanganan kasus anak dan perempuan juga dikhawatirkan terkena dampak efisiensi. Oleh karena itu, LPHPA mendorong pemerintah daerah di Lampung untuk segera mencari solusi bersama DPRD agar tetap bisa mengalokasikan anggaran bagi perlindungan anak.
Beberapa faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kekerasan terhadap anak antara lain:
- Kebijakan pemerintah yang kurang peka sehingga minim anggaran dan program.
- Penegakan hukum yang belum maksimal.
- Kurangnya sosialisasi hukum kepada masyarakat.
- Pola asuh orang tua yang belum sepenuhnya memahami perlindungan anak.
Terakhir, LPHPA mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah dalam mewujudkan deklarasi Ramadhan Ramah Anak yang digaungkan oleh Kementerian PPPA. Jika kondisi seperti ini terus terjadi, lalu di mana letak “ramah anak” tersebut?
Toni Fisher
Direktur LPHPA
Editor : IFFAH. Yy, A.Md.Kom
TRANSSEWU.COM