Ketua LPHPA Lampung Desak Penegakan Hukum Transparan dalam Kasus Kekerasan Seksual Anak di Metro, Lampung

Foto : Toni Fisher Direktur LPHPA (Lembaga Pemerhati Hak Perempuan Dan Anak) Propinsi Lampung
TRANSSEWU.COM– Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak (LPHPA) menyoroti dugaan kejanggalan dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota Metro, Lampung. Ketua LPHPA, Toni Fisher, menegaskan perlunya perhatian serius dari aparat penegak hukum guna memastikan keadilan bagi korban.
Menurut hasil investigasi Yayasan Advokasi Kelompok Rentan Anak dan Perempuan (AKRAP), kasus yang melibatkan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) sekaligus kepala sekolah ini diduga tidak ditangani dengan semestinya. Toni meminta petinggi dari tiga lembaga penegak hukum—Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan—untuk segera menurunkan tim investigasi guna mengungkap fakta yang sebenarnya.
Jangan Biarkan Masyarakat Kehilangan Kepercayaan
Toni mengingatkan bahwa penegakan hukum yang tidak transparan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia.
“Jangan sampai ini mencoreng nama baik lembaga penegak hukum dan menimbulkan kesan bahwa masyarakat tidak bisa percaya pada Polri, Jaksa, dan Hakim dalam menangani kasus anak,” tegasnya, Senin (17/2/2025).
Ia juga menyoroti tingginya angka kasus kekerasan terhadap anak di Lampung. Menurutnya, jika kasus ini tidak diselesaikan dengan baik, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat, di mana kasus kekerasan seksual terhadap anak dianggap remeh.
Dorongan Penerapan Hukuman Kebiri
Sebagai aktivis perlindungan anak, Toni berharap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat diterapkan di Lampung.
“Undang-undang dan peraturan pemerintahnya sudah ada, tapi hingga kini masih sebatas wacana. Eh, malah muncul berita seperti ini,” ujarnya.
Toni juga menyoroti posisi pelaku sebagai pendidik yang seharusnya melindungi anak-anak, bukan malah menjadi predator.
Ancaman Hukum Bagi Penghambat Proses Peradilan
Lebih lanjut, Toni mengingatkan bahwa Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat proses hukum kasus kekerasan seksual.
“Siapa pun yang mencoba menggagalkan penyidikan, penuntutan, atau persidangan bisa dipidana hingga lima tahun penjara,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa pasal ini bertujuan untuk memastikan kasus kekerasan seksual diproses hingga pengadilan, pelaku dihukum, dan korban mendapatkan haknya, termasuk restitusi dari pelaku dan kompensasi dari negara.
Seruan Untuk Tegakkan Keadilan
Ketua LPHPA Lampung Toni Fisher berjanji akan terus mengawal kasus ini agar hukum dapat ditegakkan seadil-adilnya.
“Kami tidak ingin ada satu pun korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan keadilan. Kasus ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem hukum dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak,” pungkasnya.
Editor : Bambang.S.P
TRANSSEWU.COM