Vonis 19,5 Tahun untuk Pelaku Pemerkosaan di Lampung Selatan, Aktivis LPHPA Toni Fisher : Kenapa Tidak Kebiri Seumur Hidup?

1736591749362

Foto : Direktur LPHPA Provinsi Lampung Toni Fisher

TRANSSEWU.COM – Pengadilan Negeri Kalianda, Lampung Selatan, telah menjatuhkan hukuman kepada AS dan SM dengan pidana penjara selama 19 tahun 6 bulan, ditambah 6 bulan kurungan, serta denda Rp 1 miliar. Jika denda tidak dibayarkan, hukuman akan ditambah 6 bulan penjara. Kedua terdakwa dinyatakan bersalah atas kasus pemerkosaan terhadap anak kandung sekaligus cucu mereka yang masih berusia 15 tahun. Peristiwa keji ini terjadi pada 8 Januari 2023.

Kasus ini mencuat setelah keluarga korban, bersama tim penasihat hukum, melaporkannya ke pihak kepolisian. Aparat hukum bergerak cepat menangkap kedua pelaku dan memprosesnya hingga ke pengadilan.

Namun, meskipun vonis telah dijatuhkan, korban masih menunggu realisasi janji ‘Rumah Harapan’ dari Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan Gubernur Lampung.

Toni Fisher: Hukuman Terlalu Ringan, Pelaku Harus Dihukum Lebih Berat

Menanggapi vonis tersebut, Toni Fisher, Direktur Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak (LPHPA), mengungkapkan ketidakpuasannya. Ia menilai hukuman yang dijatuhkan masih terlalu ringan, mengingat hubungan darah antara pelaku dan korban.

“Kenapa hanya 19,5 tahun? Kenapa tidak dihukum lebih berat, bahkan dikastrasi seumur hidup?” ujarnya dengan nada geram, Sabtu (15/2/2025).

Toni juga mempertanyakan alasan hakim dan jaksa tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang mengatur hukuman berat seperti kebiri kimia, penjara seumur hidup, atau bahkan hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

“Kendalanya apa? Padahal pelaksanaannya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020,” tegasnya.

Selain itu, Toni menyoroti pentingnya penyitaan harta pelaku untuk restitusi bagi korban. Ia berharap kejaksaan benar-benar mengawal proses ini agar hak korban terpenuhi.

Perlindungan Anak Harus Jadi Prioritas

Toni Fisher juga menekankan pentingnya komitmen pemerintah daerah dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Ia mengingatkan bahwa perlindungan anak bukan sekadar wacana, melainkan kewajiban yang diatur dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak.

“Jika tidak ada penerapan hukum yang lebih tegas, ini adalah bentuk kegagalan dalam perlindungan anak di Indonesia, khususnya di Lampung,” tambahnya.

Ia juga menyoroti ancaman pidana bagi pihak yang menghambat atau meremehkan proses hukum kasus kekerasan seksual, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang menyebutkan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara.

“Tujuan utama aturan ini adalah agar pelaku dihukum, korban dipulihkan, diberikan restitusi dari pelaku, serta kompensasi dari negara,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap anak masih membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Diharapkan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah dapat bertindak tegas agar keadilan benar-benar ditegakkan dan korban mendapatkan haknya sepenuhnya.(Fhee)

 

Editor : IFFAH.Yy.A.Md.Kom

TRANSSEWU.COM

About The Author